Suara Blog Pinggiran

Halaman

Ketidak Adilan MIGAS.

Kisah negeri yang memiliki kandungan minyak melimpah belum tentu menjadikan negeri tersebut kaya, makmur, dan sejahtera ada benarnya. Blok Cepu, yang 90 persen wilayah operasinya masuk di Kabupaten Bojonegoro, menyimpan kekayaan minyak luar biasa. Dari sekitar 40 sumur yang dikerjakan ExxonMobil melalui anak perusahaannya, Mobil Cepu Limited (MCL), dan Pertamina, diperkirakan mengandung 600 juta barel minyak, dan gas 1,7 triliun hingga 2 triliun kaki kubik (TCF). Di lapangan, diperkirakan Blok Cepu menyimpan kandungan minyak 250 juta barel. Pada kondisi puncak (2013), operator akan mampu memproduksi minyak 250.000 barel per hari atau setara dengan 20 persen produksi minyak Indonesia saat ini (Gatra, 25 Maret 2006, lihat juga Tempo, 2 April 2006).
Faktanya, kondisi yang dirasakan oleh Kabupaten Bojonegoro, tak seindah dalam angan-angan. Bahkan bisa dibilang suatu ironis. Alih-alih kesejahteraan, Kabupaten Bojonegoro justru mengalami ketidakdilan dalam pengelolaan minyak, khususnya di luar ranah bagi hasil minyak. Setidaknya menurut penulis, ada empat perlakuan tidak adil yang diterima Kabupaten Bojonegoro dalam kaitannya dengan implikasi pengelolaan minyak.
Pertama, minimnya dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan oleh operator minyak. Selama MCL beroperasi (sejak 2006 hingga sekarang/lima tahun), dana CSR (dulu community development) yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro ”hanya” Rp 17 miliar. Memang besaran riil dana CSR tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, dalam pasal 15 (b) pada UU yang sama ditegaskan, yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam konteks seimbang inilah besar dana CSR sudah seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Kedua, ada kesan pengadaan/pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor dipersulit. Alotnya pembangunan lapangan terbang (lapter) adalah satu di antara sekian contoh. Padahal, untuk menunjang puncak produksi minyak pada 2013, dibutuhkan lapter terbang untuk memperlancar proses pengiriman minyak. Dari sisi ekonomi, pembangunan lapter juga bisa menghemat dana hingga triliunan rupiah. Jika hal ini bisa dimaksimalkan, akan ada pemasukan yang signifikan bagi Bojonegoro, yang tentu juga merupakan modal untuk kesejahteraan masyarakat.
Di luar lapter, Bojonegoro juga ”dipersulit” dalam pembangunan waduk yang berfungsi sebagai pendingin saat eksploitasi minyak memasuki fase puncak. Padahal, berdasarkan kajian tim Pemkab Bojonegoro, keberadaan waduk penting tak hanya sebagai pendingin, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai stok air untuk pengairan sawah pada saat musim kemarau tiba. Waduk juga dapat digunakan sebagai tempat cadangan untuk menampung air saat debit air di Bengawan Solo berlimpah. Alih-alih usulan pemkab ini disetujui, BP Migas justru mengeluarkan keputusan ”aneh”, yaitu fifty-fifty. Artinya, separo memakai konsep waduk, separo lainnya menggunakan desalinasi (penyulingan air laut menjadi air tawar) yang disalurkan dari laut di wilayah Rembang, Jawa Tengah.
Ketiga, disparitas penerimaan pajak. Hingga saat ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro atas keberadaan PT Tri Wahana Universal (TWU), investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat sangat minim. Dalam setahun, PT TWU yang ada di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, hanya menyetor pajak Rp 130 juta. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar rupiah.
Penerimaan pajak tersebut kontradiktif dengan yang ada dalam UU tentang Perpajakan, dimana daerah penghasil harusnya menerima 62 persen dari total penghasilan. Ironisnya, penerimaan pajak (PPN/PPH) terbesar justru diterima oleh Pemprov DKI Jakarta, hanya karena PT TWU kantornya berada di wilayah Jakarta. Hal ini tentu tak adil, karena yang menanggung semua risikonya adalah masyarakat sekitar, dalam hal ini rakyat Kabupaten Bojonegoro.
Keempat, penerapan regulasi yang tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Seharusnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung oleh Bojonegoro.
Disparitas penerimaan pajak juga akan dialami Kabupaten Bojonegoro, bila lima proyek EP penunjang puncak produksi minyak, hanya mengacu regulasi yang memunculkan satu ketidakadilan bagi daerah. Sebab, semua homebase perusahaan-perusahaan yang menang tender dalam proyek lima EP terletak di Jakarta. Lagi-lagi, Kabupaten Bojonegoro hanya kecipratan, yang dalam konteks tertentu, tentu tidak adil.

Pemerataan Ekonomi
Dalam skala besar kebijakan pemerintah pusat di atas akan mampu menumbuhkan PDRB (product domestic regional bruto). Akan tetapi, sentralisasi kebijakan tersebut tak mampu menciptakan pemerataan ekonomi. Alih-alih pemerataan ekonomi, yang terjadi justru menciptakan kesenjangan kelas ekonomi antara daerah dan pusat. Dibutuhkan sebuah terobosan berani agar daerah potensial tidak lagi menjadi sapi perah, melainkan diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya.
Teori welfare state (negara kesejahteraan) yang selalu merekomendasi betapa pentingnya menumbuhkan potensi masyarakat kreatif yang mandiri, seharusnya menjadi titik pijak pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah, yang tampak dalam kebijakan bagi hasil pajak, yang justru menciptakan kesenjangan distribusi bagi hasil sebagaimana dipaparkan di tulisan awal, tidak boleh menjadi tangan-tangan kotor yang justru menjebak rakyat dalam posisi ketergantungan.
Sebab, ada kecenderungan secara politis, bahwa rakyat diciptakan begitu tergantung pada pemerintah yang berkuasa (rezim). Padahal seharusnya, penyelenggaraan pemerintahan modern harus bisa menyeimbangkan perubahan perilaku sosio-ekonomi masyarakat yang berkembang serasi dan selaras dengan perubahan tersebut, tanpa rakyat harus terlempar dari risiko perubahan dan perilaku modern ataupun dari akses-akses ekonomi. Selama hal ini tidak dijalankan oleh pemerintah pusat, jangan harap ketidakadilan dalam pengelolaan migas, dapat hilang

0 komentar:

Posting Komentar